Landasan Pendidikan di Indonesia
Apa saja Landasan Ilmu Pendidikan di Indonesia? Anda pasti tidak asing lagi dengan kata “landasan” bukan? landasan mengandung arti sebagai dasar atau tumpuan. Istilah landasan dikenal pula sebagai fondasi. Mengacu pada arti kata tersebut maka dapat dipahami bahwa landasan merupakan suatu dasar pijakan atau fondasi tempat berdirinya sesuatu.
Berdasarkan sifatnya,
landasan dibedakan menjadi dua jenis yaitu landasan yang bersifat material dan
konseptual (Robandi, 2005: 1). Landasan material lebih bersifat fisik atau
berwujud seperti sarana prasarana, peserta didik, dan lingkungan, sedangkan
landasan konseptual lebih bersifat asumsi atau teori-teori, contohnya adalah
UUD 1945 dan teori pendidikan.
Dengan berpegang teguh
pada landasan pendidikan yang kokoh, setidaknya kesalahan-kesalahan konseptual
dalam pendidikan yang merugikan dapat dihindari, sehingga pada praktiknya
pendidikan dapat berjalan sebagaimana fungsinya dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam
praktik pendidikan, sebagai
pendidik profesional semestinya mampu melaksanakan peranan sesuai
semboyan “tut wuri handayani”. Untuk itu para guru idealnya memahami dan
meyakini asumsi-asumsi dari semboyan tersebut. Sebab jika tidak, sekalipun
tampaknya pendidik tersebut seperti melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut
wuri handayani” namun perbuatannya tidak mencerminkan daris emboyan tersebut.
Bahkan mungkin bersikap bertentangan, misalnya pendidik tidak menghargai
perbedaan dan keunikan yang dimiliki oleh peseta didik dan merasa sebagai
penguasa tunggal dalam pembelajaran. Sebaliknya, jika pendidik memahami dan
meyakini asumsi- asumsi dalam semboyan “tut wuri handayani”, yaitu kodrat alam
dan kebebasan siswa, maka pendidik akan dengan sadar dan mantap melaksanakan
peranannya. Berdasarkan contoh tersebut jelas kiranya bahwa asumsi atau
landasan pendidikan akan berfungsi sebagai titik tolak atau acuan bagi para
pendidik professional dalam melaksanakan praktik pendidikan. Pada bagian ini,
Anda akan belajar mengenai macam-macam landasan konseptual ilmu pendidikan yang
terdiri dari landasan filosofis, landasan empiris, yuridis, dan landasan
religi.
1) Landasan Filosofis
Landasan filosofis
pendidikan adalah pandangan-pandangan yang bersumber dari filsafat pendidikan
mengenai hakikat manusia, hakikat ilmu, nilai serta perilaku yang dinilai baik
dan dijalankan setiap lembaga pendidikan. Filosofis artinya berdasarkan
filsafat pendidikan (Umar & Sulo 2010: 97). Filsafat (philosophy) berasal
dari kata philos dan shopia. Philos berarti cinta dan shopia berarti
kebijaksanaan, pengetahuan dan hikmah dalam Rukiyati (2015: 1).
Filsafat menelaah
sesuatu secara radikal, menyeluruh dan konseptual yang menghasilkan konsepsi-
konsepsi mengenai kehidupan dan dunia. Dalam pendidikan yang menjadi pokok utama
adalah manusia, maka landasan filosofis pendidikan adalah untuk menjawab apa
sebenarnya hakikat manusia. Berdasarkan sudut pandang pedagogik, sebagaimana
dikemukakan oleh M.J Langeveld (1980) pendidikan berlangsung dalam pergaulan
antara orang dewasa dengan anak atau orang yang belum dewasa dalam suatu
lingkungan. Anak atau orang yang belum dewasa adalah sebagai sesuatu
“kemungkinan” yang pada dasarnya baik. Menurut Langeveld dalam perjalanannya
manusia bisa menjadi baik atau tidak baik, sehingga pendidikanlah yang memiliki
andil untuk menjadikannya baik.
Salah satu tujuan
pendidikan adalah untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik
(pedagogik) dan ke arah yang positif. Pendidikan sama sekali bukan untuk
merusak kepribadian anak atau membawa mereka ke arah yang negatif seperti
memberi bekal pengetahuan atau keterampilan bagaimana menjadi penjahat, pencuri
dan sebagainya (demagogik). Teori- teori pendidikan seperti essensialisme,
behaviorsisme, perenialisme, progresivisme, rekronstruktivisme dan humanisme
merupakan teori yang berdasarkan pada filsasat tertentu yang akan mempengaruhi
konsep dan praktik pendidikan (Umar & Sulo 2010: 88).
Esensialisme merupakan
mahzab filsafat pendidikan yang menerapkan prinsip idealisme dan realisme
secara eklektis. Berdasarkan eklektisme tersebut maka esensialisme
menitik-beratkan penerapan prinsip-prinsip idealisme atau realisme dengan tidak
meleburkan prinsip- prinsipnya. Filsafat idealisme memberikan dasar tinjauan
yang realistis seperti dalam bidang matematika, karena matematika adalah alat
menghitung dari apa-apa yang riil, materiil dan nyata.
Perenialisme hampir
sama dengan essensialisme, tetapi lebih menekankan pada keabadian atau
ketetapan atau kenikmatan yaitu hal-hal yang ada sepanjang masa (Imam Barnadib
1988:34). Perenialisme mementingkan hal-hal berikut: (a) pendidikan yang abadi;
(b) inti pendidikan yaitu mengembangkan keunikan manusia yaitu kemampuan
berfikir; (c) tujuan belajar yaitu untuk mengenal kebenaran abadi dan
universal; (d) pendidikan merupakan persiapan bagi hidup yang sebenarnya; (c)
kebenaran abadi diajarkan melalui pelajaran dasar yang mencakup bahasa,
matematika, logika dan IPA dan Sejarah.
Progresivisme yaitu
perubahan untuk maju. Manusia akan mengalami perkembangan apabila berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran. Progresivisme atau gerakan Pendidikan
progresif mengembangkan teori pendidikan yang berdasar pada beberapa prinsip.
Progresivisme menggunakan prinsip pendidikan sebagai berikut : (a) Proses
pendidikan ditemukan dari asal, tujuan dan maksud yang ada pada siswa termasuk
di dalamnya minat siswa; (b) siswa itu aktif bukan pasif; (c) peran guru
sebagai penasehat, pemberi petunjuk, dan mengikuti keinginan siswa, bukan
otoriter dan direktur di kelas; (d) sekolah merupakan bentuk kecil dari sebuah
masyarakat; (e) aktifitas kelas berpusat pada problem solving bukan mengajarkan
berbagai mata pelajaran; (f) suasana sosial kelas kooperatif dan demokratis.
Rekonstruksionalisme
adalah suatu kelanjutan yang logis dari cara berpikir progesif dalam
pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman
kemasyarakatan masa kini di sekolah tetapi haruslah mempelopori masyarakat ke
arah masyarakat baru yang diinginkan. Dalam pengertian lain, rekonstruksionisme
adalah mahzab filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah atau lembaga
pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.
Behaviorisme memiliki
beberapa akar atau sumber ideologi atau filsafat yaitu realisme dan
positivisme. Behaviorisme pendidikan memandang perilaku siswa ditentukan oleh
stimulus dan respon. Tokoh dari konsep ini adalah Pavlov, Skinner dan
Thorndike. Humanisme merupakan kelanjutan dari prinsip progresivisme karena
telah menganut banyak prinsip dari aliran tersebut seperti pendidikan yang
berpusat pada siswa, guru tidak otoriter fokus terhadap aktivitas dan
partisipasi siswa.
Pancasila sebagaimana
yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan landasan filosofis
pendidikan Indonesia (Arif Rohman, 2013). Hakikat hidup Bangsa Indonesia adalah
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan perjuangan yang didorong oleh keinginan
luhur untuk mencapai dan mengisi kemerdekaan, selanjutnya yang menjadi
keinginan luhur Bangsa Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 2 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang
“Sistem Pendidikan Nasional”
menjelaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Tujuan pendidikan
Bangsa Indonesia yaitu pembentukan manusia Indonesia yang ideal yaitu manusia
seutuhnya yang diwarnai oleh sila-sila Pancasila. Manusia ideal adalah manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan jasmani dan rohani,
berkepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan ini mengoperasionalkan manusia Indonesia
seutuhnya dan juga mengoperasionalkan wujud sila- sila dalam diri peserta
didik. Perlu ditegaskan bahwa pengamalan Pancasila dalam bidang pendidikan
seharusnya menyeluruh dan utuh mencerminkan lima sila dalam Pancasila sebagai
yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan ketetapan MPR RI No II/1978
tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa
pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa
Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar Negara Republik
Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud Bangsa
Indonesia dan masyarakat yang dianggap baik. Sumber dari seluruh sumber nilai
yang diyakini menjadi pangkal serta bermuaranya setiap keputusan dan tindakan
dalam pendidikan. Dengan kata lain, pancasila sebagai sumber sistem nilai dalam
pendidikan.
Seperti kita ketahui
bahwa pendidikan itu memiliki objek telaah, bertujuan, memiliki kegiatan dan
metode, yang secara detail dibahas dalam filsafat ontologi, aksiologi dan
epistemologi. Secara ontologi pendidikan memiliki objek telaah yang riil yaitu
manusia. Ontologi sendiri diartikan sebagai suatu cabang filsafat atau ilmu
yang mempelajari suatu yang ada atau berwujud berdasarkan logika sehigga dapat
diterima oleh akal manusia yang bersifat rasional dapat difikirkan dan sudah
terbukti keabsahaanya. Aspek ontologi dari pendidikan haruslah diuraikan secara
metodis, sistematis, koheren,
rasional, komprehensif, radikal,
serta universal.
Jika dilihat dari sudut
pandang filsafat aksiologi, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan seluruh
potensi kemanusiaan ke arah yang positif. Aksiologi sendiri dapat diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang tujuan ilmu pengetahuan atau hakikat dan
manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan. Aksiologi juga dipahami sebagai teori
nilai yang menggunakan penilaian etika dan estetika. Etika berfokus pada
perilaku, norma dan adat istiadat manusia, sedangkan estetika membahas tentang
nilai keindahan. Suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras
serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Epistemologi merupakan
bagian dari filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode,
struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Objek material epistimologi
adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakekat pengetahuan.
Landasan epistimologi pendidikan adalah pandangan-pandangan yang bersumber dari
cabang filsafat epistimologi yang disebut juga teori mengetahui dan pengetahuan
(Kadir, 2015). Epistimologi erat kaitannya dengan pendidikan khususnya untuk
kegiatan belajar mengajar di kelas. Epistimologi membahas konsep- konsep dasar yang
sangat umum dari proses mengetahui sehingga erat kaitannya dengan metode
pengajaran dan pembelajaran.
Guru-guru di dalam
kelas memberikan berbagai jenis pengetahuan sesuai dengan disiplin ilmunya
masing-masing. Dalam praktik pembelajaran alangkah baiknya apabila guru
mengetahui berbagai jenis pengetahuan yang diberikannya, apa sumber pengetahuan
tersebut dan bagaimana tingkat kepercayaan terhadap pengetahuan tersebut. Hal
ini akan membantu guru untuk menyeleksi bahan ajar dan penekananya pada materi
tertentu dalam mengajar.
Terdapat empat jenis
pengetahuan menurut taksonomi Bloom (Lorin W
Anderson & David
R. Krathwohl, 2010).
Jenis-jenis pengetahuan tersebut
meliputi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif.
Pengetahuan faktual meliputi elemen-elemen dasar yang harus diketahui siswa
ketika akan mempelajari disiplin ilmu atau menyelesaikan masalah dalam disiplin
ilmu tersebut. Pengetahuan faktual terdiri dari dua sub jenis: (a) Pengetahuan
tentang terminologi. Pengetahuan ini melingkupi pengetahuan tentang label dan
simbol verbal dan nonverbal (misalnya, kata, angka, tanda dan gambar), (b)
Pengetahuan tentang detail-detail dan elemen-elemen yang spesifik. Pengetahuan
ini merupakan pengetahuan tentang peristiwa, lokasi, orang, tanggal, sumber
informasi dan semacamnya. Pengetahuan ini meliputi informasi yang mendetail dan
spesifik.
Pengetahuan konseptual
mencakup pengetahuan tentang kategori, klasifikasi dan hubungan antar dua atau
lebih kategori atau klasifikasi pengetahuan yang lebih kompleks dan tertata.
Pengetahuan konseptual meliputi skema, model mental, atau teori yang implisit
atau eksplisit dalam beragam model psikologi kognitif. Pengetahuan konseptual
terdiri dari tiga sub jenis: (a) Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori.
Pengetahuan ini meliputi kategori, kelas, divisi dan susunan yang spesifik
dalam disiplin-disiplin ilmu. Perlunya klasifikasi dan kategori dapat digunakan
untuk menstrukturkan dan mensistematisasikan fenomena. Pengetahuan tentang
klasifikasi dan kategori lebih umum dan sering lebih abstrak daripada
pengetahuan tentang terminologi dan fakta-fakta yang spesifik.
Pengetahuan tentang
prinsip dan generalisasi. Prinsip dan generalisasi dibentuk oleh klasifikasi
dan kategori. Umumnya merupakan bagian yang dominan dalam sebuah disiplin ilmu
dan digunakan untuk mengkaji fenomena atau menyelesaikan masalah-masalah dalam
disiplin ilmu tersebut. pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi mencakup
pengetahuan tentang abstraksi-abstraksi tertentu yang meringkas hasil- hasil
pengamatan terhadap suatu fenomena. (c) Pengetahuan tentang teori, model, dan
struktur. Pengetahuan ini meliputi pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi
serta antara keduanya yang menghadirkan pandangan yang jelas, utuh dan sistemik
tentang sebuah fenomena, masalah, atau materi kajian yang kompleks. Pengetahuan
tentang teori, model, dan struktur mencakup pengatahuan tentang berbagai
paradigma, epistemologi, teori dan model yang digunakan dalam disipin-disiplin
ilmu untuk mendeskripsikan, memahami, menjelaskan dan memprediksi fenomena.
Pengetahuan prosedural
meliputi bagaimana melakukan sesuatu, mempraktikkan metode-metode penelitian,
dan kriteriakriteria untuk menggunakan ketrampilan, algoritma, teknik dan
metode. Pengetahuan prosedural bergulat dengan pertanyaan “bagaimana”, dengan kata
lain pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan tentang beragam proses. Pada
pengetahuan ini terdiri dari tiga subjenis: (a) Pengetahuan tentang
keterampilan dalam bidang tertentu dan algoritme. (b) Pengetahuan tentan teknik
dan metode dalam bidang tertentu. Pengetahuan ini mencakup pengetahuan yang
umumnya merupakan hasil konsensus, kesepakatan atu ketentuan dalam disiplin
ilmu, bukan hasil pengamatan atau eksperimen atau penemuan langsung. Pada
umumnya pengetahuan ini menunjukkan bagimana para ilmuan dalam bidang mereka
berpikir dan menyelesaikan masalah-masalah, bukan hasil penyelesaian masalah
atau pemikiran. (c) Pengetahuan tentang kriteria untuk menentukan kapan harus
menggunakan prosedur yang tepat.
Pengetahuan
metakognitif meliputi pengetahuan tentang kognisi secara umum dan kesadaran dan
pengeahuan tentang kognisi diri sendiri. Pada pengetahuan ini meliputi tiga
subjenis.
(a) Pengetahuan
strategis. Pengetahuan strategis merupakan pengetahuan perihal
strategi-strategi belajar dan berpikir serta pemecahan masalah. Pengetahuan ini
mencakup strategi-strategi umum umum untuk menyelesaikan masalah (problem
solving) dan berpikir. (b) Pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif. (c)
Pengetahuan diri. Pengetahuan ini mencakup pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan
diri sendiri dalam kaitannya kognisi dan belajar.
2) Landasan Yuridis
Landasan yuridis
pendidikan adalah aspek-aspek hukum yang mendasari dan melandasi
penyelenggaraan pendidikan (Arif Rohman, 2013). Pendidikan tidak berlangsung
dalam ruang hampa melainkan ada dalam lingkungan masyarakat tertentu dengan
norma dan budaya yang melekat di dalamnya. Oleh karena itu, pendidikan melekat
pada masyarakat, kemudian masyarakat tersebut menginginkan pendidikan yang
sesuai dengan latar belakangnya. Supaya pendidikan tidak melenceng dari
jalurnya maka perlu diatur dalam regulasi yang berlaku di masyarakat/negara.
Sistem pendidikan di Indonesia diatur oleh Undang- Undang Dasar 1945 yang
kemudian dijabarkan dalam peraturan-peraturan hukum lainnya seperti, Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia, ketetapan MPR. Undang-Undang, Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan
pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lain.
Aturan sistem pendidikan tersebut tetap didasarkan pada falsafah bangsa
Indonesia yaitu Pancasila.
Berikut ini beberapa
landasan hukum sistem pendidikan di Indonesia:
a) Pasal 31 UUD 1945
tentang Pendidikan Nasional, yakni ayat (1) menyatakan bahwa tiap-tiap warga
negara berhak mendapatkan Pendidikan; dan ayat (2) menyatakan bahwa setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;
ayat (3) menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan ketaqwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang; ayat (4) yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20%
dari APBN dan
APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; dan ayat
(5) menyatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia
b) Undang-Undang
tentang pokok pendidikan dan kebudayaan UU No 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 ayat 1 dan 2. Ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan
negara. Sedangkan Ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan nasional ialah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1045 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia
dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
c) UU No 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini memuat 84 pasal tentang ketentuan
profesi guru dan dosen di Indonesia
UU No 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.
d) Peraturan
Pemerintah. Diantaranya 1) Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2015 tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP); 2) Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2006
tentang standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; 3) Peraturan Pemerintah
No 23 Tahun
2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan. 4) Peraturan
Pemerintah No 74 Tahun 2008 Tentang Guru;
e) Peraturan
Menteri, misalnya 1) Peraturan Menteri
No. 13 Tahun 2007 Tentang Kepala Sekolah; 2) Peraturan Menteri No 16 Tahun 2007
dan No 32 Tahun 2008 tentang Guru; 3) Peraturan Menteri No 19 Tahun 2007 tentang
Standar Pengelolaan; 4) Peraturan Menteri No 20 Tahun 2007 tentang Standar
Penilaian; 5) Peraturan Menteri No 24 Tahun 2007 dan Permen No. 33 Tahun 2008
tentang Standar Sarana dan Prasarana; 6) Peraturan Menteri No 41 Tahun 2007
tentang Standar Proses; 7) Peraturan Menteri No 47 Tahun 2008 tentang Standar
Isi; 8) Peraturan Menteri No 24 Tahun 2008 tentang TU; 9) Peraturan Menteri No
25 Tahun 2008 tentang Perpustakaan; 10) Peraturan Menteri No 26 Tahun 2008
tentang Laboratorium, dan lainnya
3) Landasan Empiris
a) Landasan Psikologis
Psikologi adalah ilmu
yang mempelajari gejala kejiwaan yang ditampakkan dalam bentuk perilaku baik
manusia ataupun hewan, yang pemanfaatannya untuk kepentingan individu atau
manusia baik disadari ataupun tidak, yang diperoleh melalui langkah-langkah
ilmiah tertentu serta mempelajari penerapan dasar-dasar atau prinsip- prinsip,
metode, teknik, dan pendekatan psikologis untuk memahami dan memecahkan
masalah-masalah dalam pendidikan (Santrock, 2017). Proses kegiatan pendidikan
melibatkan kegiatan yang menyangkut interaksi kejiwaan antara pendidik dan
peserta didik dalam suasana nilai- nilai budaya suatu masyarakat yang
didasarkan pada nilia-nilai kemanusiaan. Pendidikan selalu melibatkan aspek-
aspek yang tidak dipisahkan satu sama lain yaitu aspek kejiwaan, kebudayaan,
kemasyarakatan, norma-norma, dan kemanusiaan.
Landasan psikologi
dalam pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari studi ilmiah tentang
kehidupan manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek
pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu untuk mengenali
dan menyikapi manusia yang bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan
(Robandi, 2005:25). Pendidikan harus mempertimbangkan aspek psikologi peserta
didik sehingga peserta didik harus di pandang sebagai subjek yang akan
berkembang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Sekurang-
kurangnya terdapat tiga prinsip umum perkembangan peserta didik sebagai manusia
yaitu (1) perkembangan setiap individu menunjukan perbedaan dalam kecepatan dan
irama; (2) perkembangan berlangsung relatif, teratur dan (3) perkembangan
berlangsung secara bertahap.
Landasan psikologi
pendidikan mencakup dua ilmu yaitu psikologi perkembangan dan psikologi
belajar. Psikologi perkembangan adalah ilmu-ilmu yang mempelajari tingkah laku
individu dalam perkembangannya meliputi perkembangan fisik, psikologi, sosial,
emosional, emosi dan moral. Terdapat tiga teori pendekatan tentang perkembangan
menurut Syaodih (2004) yaitu (1) Pendekatan Pentahapan. Perkembangan individu
berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri
khusus yang berbeda dengan ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain. (2) Pendekatan
Diferensial. Pendekatan ini memandang individu- individu itu memiliki
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan.
Atas dasar ini lalu
orang membuat kelompok-kelompok. Anak- anak yang memiliki kesamaan dijadikan
satu kelompok. Maka terjadilah kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan
intelek, bakat, ras, agama, status sosial ekonomi, dan sebagainya. (3)
Pendekatan Ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu,
dapat saja disebut
sebagai pendekatan individual (melihat perkembangan seseorang
secara individual). Dari ketiga pendekatan ini, yang paling banyak dilaksanakan
adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu yang
bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan mencakup
segala aspek perkembangan sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun
tahap-tahap perkembangan. Sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbangkan
faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak,
misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.
Menurut Piaget terdapat
empat perkembangan kognisi anak (Budingsih, 2004) yaitu (1) periode sensori
motor pada usia 0-2 tahun, pada usia ini kemampuan anak terbatas pada
gerak-gerak refleks (2) periode praoperasonal yaitu usia 2-7 tahun,
perkembangan bahasa pada usia ini sangat pesat, peranan intuisi dalam
memutuskan sesuatu masih besar, (3) periode operasi konkret usia 7-11 tahun,
anak sudah dapat berpikir logis, sistematis dan memecahkan masalah yang
bersifat konkret. (4) peirode operasi formal usia 11-15 tahun anak- anak sudah
dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang bersifat konkret maupun
abstrak. Anak pada tahap ini dapat membentuk ide- ide dan masa depannya secara
realistis. Selanjutnya menurut Bruner (Budiningsih, 2004) perkembangan kognisi
anak meliputi (1) tahap enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivias dalam upaya
memahami lingkungan. (2) tahap ikonik, anak memahami dunia melalui
gambaran-gambaran dan visualiasi verbal. (3) tahap simbolik, anak telah
memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Perkembangan kognisi
menurut Lawrence Kohlberg (Syaodih, 2004) yaitu:
Tingkat Prekonvensional
Tahap orientasi
kepatuhan dan hukuman, seperti kebaikan, keburukan, ditentukan oleh orang itu
dihukum atau tidak.
Tahap orientasi egois yang naif, seperti tindakan yang betul ialah yang memuaskan kebutuhan seseorang.
Tingkat Konvensional
Tahap orientasi anak
baik, seperti perilaku yang baik adalah bila disenangi orang lain.
Tahap orientasi
mempertahankan peraturan dan norma nanasosial, seperti perilaku yang baik ialah
yang sesuai dengan harapan keluarga, kelompok atau bangsa.
Tingkat
Post-Konvensional
Tahap orientasi kontrak
sosial yang legal, yaitu tindakan yang mengikuti standar masyarakat dan
mengkonstruksi aturan baru.
Tahap orientasi prinsip
etika universal, yaitu tindakan yang melatih kesadaran mengikuti keadilan dan
kebenaran universal.
Terdapat delapan tahap
perkembangan Afeksi menurut Erikson yaitu (1) bersahabat versus menolak pada
umur 0 -1 tahun, (2) otonomi versus malu dan ragu-ragu pada umur 1 -3 tahun,
(3) Inisiatif versus perasaan bersalah pada umur 3 -5 tahun (4) Perasaan
Produktif versus rendah diri pada umur 6 -11 tahun, (5) Identitas versus
kebingungan pada umur 12 – 18 tahun, (6) Intim versus mengisolasi diri pada
umur 19 – 25 tahun, (7) Generasi versus kesenangan pribadi pada umur 25 – 45
tahun, (8) Integritas versus putus asa pada umur 45 tahun ke atas.
Psikologi belajar
membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi individu belajar dan bagaimana
individu belajar yang dikenal dengan istilah teori belajar (Pidarta, 2007).
Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat
dikelompokan menjadi 3 kelas, antara lain:
Teori disiplin daya/disiplin
mental (faculty theory).
Menurut teori ini anak
sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang
masing–masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya
berpikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah,
dan sejenisnya.
Behaviorisme.
Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup teori koneksionisme/asosiasi, teori kondisioning, dan teori operant conditioning (reinforcement). Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat dilihat dan diamati. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus – respon seoptimal mungkin. Tokoh utama teori ini yaitu Edward L. Thorndike.
Organismic/Cognitive
Gestalt Field.
Menurut teori ini
keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan
dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan
timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh
stimulus dan respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian
individu melakukan interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu
proses pembelajaran. Belajar menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal
tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah
dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara
penyelesaiannya diserahkan kepada masing-masing anak didik yang pada akhirnya
peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang
telah dipelajari.
b) Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis
bersumber pada norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa
sehingga tercipta nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi
norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi
oleh masing-masing anggota masyarakat (Robandi, 2005: 26). Di dalam masyarakat
terdapat struktur sosial dan dalam struktur tersebut setiap inividu menduduki
status dan peran tertentu. Sumantri dan Yatimah (2017) menjelaskan bahwa
masyarakat dapat diidentifikasi melalui lima unsur yaitu: a) adanya sekumpulan
manusia yang hidup bersama, melakukan interaksi sosial dalam waktu yang lama,
c) saling bekerjasama, memiliki keturunan, dan berbagai macam kebutuhan, d)
memiliki kesadaran sebagai suatu kesatuan atau unity, e) suatu sistem hidup
bersama yang menghasilkan kebudayaan sehingga masing- masing individu merasa
terikat satu sama lain.
Manusia pada hakikatnya
sebagai makhluk bermasyarakat dan berbudaya, oleh karena itu masyarakat
menuntut setiap individu mampu hidup demikian. Namun karena manusia tidak
secara otomatis mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya maka masyarakat
melakukan pendidikan atau sosialisasi dan atau enkulturasi. Dengan demikian
diharapkan setiap individu mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya sehingga
tidak terjadi penyimpangan tingkah laku terhadp sisten nilai dan norma.
Dalam konteks
pendidikan Menurut Bloom (1956) Manusia sebagai bagian dari masyarakat
mengalami perkembangan perilaku individu yaitu pada kawasan kognitif,
psikomotor, dan afektif. Kawasan kognitif adalah segala upaya yang mencakup
aktivitas otak. Kawasan afektif mencakup segala sesuatu yang terkait dengan
emosi misalnya perasaan, nilai, penghargaan, semangat, motivasi dan sikap. Dan
kawasan psikomotor meliputi gerakan dan koordinasi jasmani, keterampilan
motorik dan kemampuan fisik. Pada kawasan kognitif terdapat tingkatan ranah
belajar yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan
evaluasi. Pada kawasan afektif terdiri dari ranah yang behubungan dengan
respons emosional terhadap tugas yaitu penerimaan, partisipasi, penilaian atau
penentuan sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup. Pada kawasan psikomotor
yang berkaitan dengan keterampilan jasmani terdiri dari ranah persepsi,
kesiapan, gerakan yang terbimbing gerakan yang terbiasa, gerakan yang komplek,
penyesuaian pola gerakan dan kreativitas.
Agar manusia mampu
hidup bermasyarakat dan berbudaya maka perlu ada keseimbangan antar kawasan
kognitif, afektif dan psikomotor sebagai wujud dari pengembangan karakter.
Pengembangan karakter dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan melalui
pendidikan yang lebih menonjolkan kawasan-kawasan afektif dan psikomotor
melalui penekanan bagaimana mengevaluasi perilaku, akhlak dan moral daripada
menonjolkan kawasan kognitif semata.
Landasan sosiologis
pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma
kehidupan masyarakat. Ciri dari paham integralistik adalah (1) kekeluargaan dan
gotong royong kebersamaan, musyawarah mufakat; (2) kesejahteraan bersama menjadi
tujuan hidup bermasyarakat; (3) negara melindungi warga negaranya; (4) selaras
dan seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu pendidikan di Indonesia
tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara individu melainkan juga
meningkatkan kualitas struktur masyarakatnya.
Kajian sosiologi
tentang pendidikan pada dasarnya mencakup semua jalur pendidikan. Menurut Ki
Hajar Dewantara pendidikan berlangsung dalam lingkungan keluarga, lingkungan
perguruan/sekolah dan lingkungan masyarakat (Rahmat, 2012:52). Ketiga
lingkungan pendidikan tersebut memberi pengaruh yang dapat mengarah positif
maupun negatif, sehingga lingkungan Pendidikan berperan menjadi pusat
berlangsungnya pendidikan untuk pertumbuhan dan perkembangan pesert didik.
Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat terdiri dari suami istri dan
anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU Nomor 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga). Keluarga merupakan
lingkungan pendidikan yang pertama bagi perkembangan individu anak, karena
sejak kecil anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga. Awal
pendidikan anak sebenarnya diperoleh melalui keluarga, dalam dunia pendidikan
disebut pendidikan informal. Pembelajaran yang terjadi di dalam keluarga
terjadi setiap hari pada saat terjadi interaksi antara anak dengan keluarganya.
Peran orangtua menjadi panutan bagi anak- anaknya. Dalam keluarga, orangtua
mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk dan mengembangkan karakter
dan kepribadian anak.
Sekolah sebagai
institusi sosial merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan kegiatan
belajar mengajar secara formal atau disebut juga dengan pendidikan formal.
Sekolah memiliki fungsi sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan (agent
of change), sesuai dengan tuntutan zaman. Sekolah berfungsi sebagai alat untuk
mengintrodusir nilai-nilai baru yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan
kualitas hidup dan kehidupan masyarakat tanpa meninggalkan nilai lama yang
perlu dipertahanlan agar dapat diadopsi oleh masyarakat, demi mengadaptasi
perkembangan teknologi dan pengetahuan, yang pada akhirnya bertujuan agar
kehidupan masyarakat lebih berkualitas.
Tugas utama sekolah
yaitu berupaya untuk menciptakan proses pembelajaran secara efektif dan efisien
untuk mengantarkan peserta didik mencapai prestasi yang memuaskan. Sekolah
sebagai sistem sosial adalah suatu upaya untuk memahami tujuan, peran, hubungan
dan perilaku berbagai komponen pendidikan di sekolah dalam setting sosial.
Terdapat dua elemen dasar sekolah sebagai sistem sosial yaitu institusi, peran
dan harapan dalam menentukan norma bersama atau dimensi sosial, (2) individual,
personalitas dan pemenuhan kebutuhan yang merupakan dimensi psikologis. Sekolah
sebagai sistem sosial diharapkan mampu mencapai moral kerja anggota organisasi
yang efektif, efisien dan memuaskan melalui integrasi kebutuhan individu dan
kebutuhan organisasi.
Masyarakat sebagai
media transformasi sosial dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan
manusia yang saling berinterkasi dalam suatu hubungan sosial. Anak dalam
pergaulannya di dalam masyarakat tentu banyak berinteraksi secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya anak bermain dengan
teman-temannya di luar rumah, sedangkan secara tidak langsung misalnya anak
melihat kejadian-kejadian yang dipertontonkan oleh masyarakat. Keberhasilan
pendidikan tidak hanya ditentukan oleh proses pendidikan di sekolah dan
tersedianya sarana prasarana, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan keluarga
dan atau masyarakat sehingga pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Hal ini berarti orang tua murid
dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk ikut berpartisipasi dan memberikan
dukungan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Terdapat hubungan
saling menguntungkan antara sekolah dengan masyarakat yaitu dalam bentuk
hubungan saling memberi, saling melengkapi, dan saling menerima sebagai
partner. Sekolah pada hakekatnya mempunyai fungsi ganda terhadap masyarakat
yatiu sebagai agen pembaharuan bagi masyarakat sekitarnya dan memberi
pelayanan. Dengan hubungan yang harmonis tersebut terdapat beberapa manfaat
pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat yaitu (1) memperbesar dorongan
mawas diri yaitu pengawasan terhadap
kualitas penyelenggaraan pendidikan
oleh masyarakat melalui dewan
pendidikan dan komite sekolah, (2) meringankan beban sekolah dalam memperbaiki
serta meingkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah, (3)
opini masyarakat terhadap sekolah alan lebih positif dan benar, (4)
meningkatkan upaya peningkatan profesi mengajar guru, (5) masyarakat akan ikut
serta memberikan kontrol/koreksi terhadap sekolah, (6) dukungan moral
masyarakat akan tumbuh terhadap sekolah sehingga memudahkan mendapatkan bantuan
material dan penggunaan berbagai sumber termasuk nara sumber dari masyarakat.
Sedangkan bagi masyarakat dengan adanya hubungan yang harmonis antar sekolah
dengan masyarakat maka (1) masyarakat/orang tua akan mengerti tentang berbagai
hal yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan di sekolah, (2) keinginan dan
harapan masyarakat dapat mudah disampaikan dan di realisasikan oleh pihak
sekolah, (3) masyarakat mendapat kesempatan untuk memberikan saran usul, maupun
kritik untuk membantu menciptakan kualitas sekolah.
c) Landasan Historis
Landan historis pendidikan
nasional di Indonesa tidak terlepas dari sejarah bangsa indonesia itu sendiri.
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang
sejak zaman Kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya bangsa lain
yang menjajah serta menguasai bangsa Indonesia. Dengan kata lain, tinjauan
landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan
pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif. Pandangan ini melahirkan
studi-studi historis tentang proses perjalanan pendidikan di Indonesia yang
terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau.
Dilihat dari pendidikan
di masa lampau Indonesia dapat dikelompokan menjadi enam tonggak sejarah
(Robandi, 2005) yaitu pendidikan
tradisional yaitu penyelenggaraan pendidikan
di nusantara yang dipengaruhi oleh agama-agama besar di dunia seperti
Hindu, Budha, Nasrani dan Nasrani. (b) pendidikan kolonial barat yaitu
penyelenggaraan pendidikan dinusantara yang dipengaruhi oleh pemerintah
kolonial barat terutama kolonial Belanda (c) pendidikan kolonial jepang yaitu
penyelenggaraan pendidikan dinusantara yang dipengaruhi oleh pemerintah
kolonial jepang pada masa perang dunia II (d) pendidikan zaman kemerdekaan, (e)
pendidikan zaman orde lama dan baru, (f) pendidikan zaman reformasi yaitu
penyelenggaraan pendidikan dengan sistem pendidikan desentralisasi. Kondisi
historis dari keenam tonggak sejarah pendidikan tersebut mempunyai implikasi
terhadap penyelenggaraan pendidikannya dalam hal tujuan pendidikan,
kurikulum/isi pendidikan, metode pendidikan dan pengelolaanya serta kesempatan
pendidikan.
4. Landasan Religi
Landasan religi adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari religi atau agama yang menjadi titik tolak dalam rangka praktik pendidikan dan atau studi pendidikan (Hasubllah, 2008). Landasan religius ilmu pendidikan bertolak dari hakikat manusia yaitu (1) Manusia sebagai makhluk Tuhan YME; (2) Manusia sebagai kesatuan badan dan rohani; (3) Manusia sebagai makhluk individu, (4) Manusia sebagai makhluk sosial. Manusia adalah mahkluk Tuhan YME. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan konsekuensi fungsi dan tugas manusia sebagai khilafah dimuka bumi ini. Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri (self-awarness). Oleh karena itu, manusia adalah subjek yang menyadari keberadaannya, ia mampu membedakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya (objek). Selain itu, manusia bukan saja mampu berpikir tentang diri dan alam sekitarnya, tetapi sekaligus sadar tentang pemikirannya. Namun, sekalipun manusia menyadari perbedaannya dengan alam bahwa dalam konteks keseluruhan alam semesta manusia merupakan bagian daripadanya. Oleh sebab itu, selain mempertanyakan asal usul alam semesta tempat ia berada, manusia pun mempertanyakan asal-usul keberadaan dirinya sendiri.
Manusia adalah kesatuan
jasmani dan rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan diri dan
lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu, serta mempunyai
tujuan. Selain itu, manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, potensi untuk mampu berpikir (cipta),
potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi
untuk berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek
individualitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan, dan keberagaman.
Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau berkomunikasi, memiliki
historisitas, dan dinamika.
Agar manusia mampu
menjadi khalifah yang baik maka memerlukan pendidikan. Pendidikan harus
berfungsi memanusiakan manusia. Pendidikan adalah humanisasi, sebagai
humanisasi, pendidikan hendaknya dilaksanakan untuk membantu
perealisasian/pengembangan berbagai potensi manusia, yaitu potensi untuk mampu
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berbuat baik, hidup sehat, potensi
cipta, rasa, karsa dan karya. Semua itu harus dikembangkan secara menyeluruh
dan terintegrasi dalam konteks kehidupan keberagamaan, moralitas,
individualitas, sosial dan kultural.
Dalam landasan religius,
anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang harus dijaga dan dibina
karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia
yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) tentang hak-hak anak. Anak memerlukan pendidikan akhlak yang baik
dalam proses tumbuh kembangnya. Jamaluddin (2012) memaparkan bahwa peran
orangtua sangat penting dalam membentuk kepribadian anak pada masa yang akan
datang.
Dalam rangka pencapaian pendidikan, setiap agama berupaya untuk melakukan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang, karena dengan terbinanya seluruh potensi manusia secara sempurna diharapkan ia dapat melakukan fungsi pengabdian sebagai khalifah di muka bumi. Potensi-potensi yang harus dibina meliputi seluruh potensi yang dimiliki, yaitu potensi spiritual, kecerdasan, perasaan dan kepekaan. Potensi-potensi tersebut merupakan kekayaan dalam diri manusia yang berharga. Untuk itu, diperlukan pendidikan untuk membentuk manusia menjadi insan yang mendekati kesempurnaanatau memiliki kepribadian yang utama. Pendidikan bagi anak berupaya untuk memberikan bimbingan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak- anak dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan masyarakat.






No comments
Post a Comment