Teori Belajar Behavioristik Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran

Teori Belajar Behavioristik Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran


Teori belajar behavioristik dikenal juga dengan teori belajar perilaku, karena analisis yang dilakukan pada perilaku yang tampak, dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Belajar merupakan perubahan perilaku manusia yang disebabkan karena pengaruh lingkungannya. Behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku individu yang belajar dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan, artinya lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Teori ini memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungannya (Schunk, 1986). Pengalaman dan pemeliharaan akan pengalaman tersebut akan membentuk perilaku individu yang belajar. Dari hal ini, munculah konsep “manusia mesin” atau Homo mechanicus (Ertmer & Newby, 1993).

 

Behavioristik memandang bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antar stimulus dan respon (Robert, 2014). Sehingga, dapat kita pahami bahwa belajar merupakan bentuk dari suatu perubahan yang dialami peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Peserta didik dianggap telah melakukan belajar jika dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Contohnya, peserta didik dapat dikatakan bisa membaca jika ia mampu menunjukkan kemampuan membacanya dengan baik.

 

Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respons. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru merupakan stimulus, dan apa saja yang dihasilkan peserta didik merupakan respon, semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur. Behavioristik mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

 

Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R (Stimulus – Respon) psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Pendidik yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkah laku peserta didik merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.

 

Behaviorisme, pertama kali didefinisikan dengan jelas oleh Watson seorang ahli bidang psikologi yang fokus pada peran pengalaman dalam mengatur perilaku (Robert, 2014), dalam kajian ini akan dibahas beberapa tokoh behavioristik. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner. Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, namun ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita kaji bersama paparan para tokoh berikut :

 

a) Edward Lee Thorndike (1871-1949)

Saudara mahasiswa, mari kita memulai kajian tentang teori belajar yang dikemukakan oleh ahli teori belajar terbesar sepanjang masa Edward Lee Thorndike. Dia bukan hanya merintis karya besarnya dalam teori belajar tetapi juga dalam bidang psikologi pendidikan, dan yang menarik beliau memulai proyek risetnya saat sudah berusia lebih dari 60 tahun (Hergenhahn & Olson, 2001).

 

Thorndike dikenal dengan percobaannya dengan menggunakan kucing dan kotak puzzle (Robert, 2014). Dalam percobaannya, Thorndike menempatkan kucing dalam kotak yang dilengkapi dengan peralatan (tuas, pedal dan knob) yang akan memungkinkan kucing tersebut keluar dari kotak dan mendapatkan makanan yang ditempatkan tepat di luar pintu.

 

Dari hasil eksperimennya Thorndike mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus (S) dan respon (R). dari pengertian tersebut didapatkan bahwa wujud tingkah laku tersebut bisa saja diamati atau tidak dapat diamati (Robert, 2014). Teori belajar Thorndike disebut sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism).

 

Menurut Thorndike, belajar dapat dilakukan dengan mencoba-coba (trial and error), dimana proses mencoba-coba dilakukan bila seseorang tidak tahu bagaimana harus memberikan respon atas sesuatu karena kemungkinan akan ditemukan respon yang tepat berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Thorndike juga mengemukakan beberapa hukum tentang belajar (Gredler & Margaret, 2009).

1. Hukum kesiapan (Law of Readiness)

2. Hukum latihan (Law of Excercise)

3. Hukum akibat (Law of Effect)

 

b) Jhon Broades Watson (1878-1958)

Watson dikenal sebagai pendiri aliran Behaviorisme di Amerika Serikat berkat karyanya yang begitu dikenal “Psychology as the behaviorist view it” (Ertmer & Newby, 1993). Belajar menurut Watson adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Artinya, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak peserta didik itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.

 

Teori yang dikembangkan oleh Watson ialah Conditioning. Teori conditioning berkesimpulan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan. Ia percaya dengan memberikan kondisi tertentu dalam proses pembelajaran maka akan dapat membuat peserta didik memiliki sifat-sifat tertentu. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan (perangsang) yang berupa pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu. Watson juga percaya bahwa kepribadian manusia yang terbentuk melalui berbagai macam conditioning dan berbagai macam refleks.

 

Beberapa pandangan Watson yang dihasilkan dari serangkaian eksperimennya dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Belajar adalah hasil dari adanya Stimulus dan Respon (S – R). Stimulus merupakan objek di lingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh. Sedangkan respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban dari stimulus, respon mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat yang tinggi.

2. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting. Hal ini dikarenakan Watson tidak mempercayai unsur keturunan (herediter) sebagai penentu perilaku.

3. Kebiasaan atau habits merupakan dasar perilaku yang ditentukan oleh 2 hukum utama yaitu kebaruan (recency) dan frequency.

4. Pandangannya tentang ingatan atau memory, menurutnya apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu digunakan atau dilakukan dan factor yang menentukan adalah kebutuhan.

 

Pandangan-pandangan tersebut semakin meyakinkan bahwa para tokoh aliran behavioristik cenderung untuk tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan- perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting.

 

c) Edwin Ray Guthrie (1886-1959)

Saudara mahasiswa, seperti halnya tokoh behavioristik lainnya Edwin Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun Guthrie mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis semata. Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Guthrie mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang.

 

Coba kita simak contoh berikut; seorang anak laki-laki yang setiap kali pulang dari sekolah selalu meletakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantung topi dan bajunya di tempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki rumah.

 

d) Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)

Saudara mahasiswa, tahu kah Anda bahwa Skinner merupakan tokoh behavioristik yang paling banyak diperbincangkan dibandingkan dengan tokoh lainnya? Penyebabnya adalah bahwa konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain  yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif.

 

Pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi- konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

 

Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Asumsi dasar dalam toeri belajar menurut Skinner, yaitu belajar merupakan perilaku dan perubahan-perubahan perilaku yang tercermin dalam kekerapan respon yang merupakan fungsi dari kejadian dalam lingkungan kondisi. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan program- program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus– respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.

 

Teori Skinner dikenal dengan “operant conditioning”, dengan enam konsepnya, yaitu: penguatan positif dan negatif, shapping, pendekatan suksetif, extinction, chaianing of respon, dan jadwal penguatan. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Menurut Skinner, hukuman bukan merupakan teknik yang bisa diandalkan untuk mengontrol perilaku di samping juga cenderung menghasilkan efek samping yang merugikan (Hill, 2009). Lebih baik tidak menggunakan hukuman jika ada alternatif yang efektif dan menyenangkan (misalnya penguatan perilaku yang dikehendaki).

 

Bagaimana Impliaksi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran? Setelah mengkaji tentang teori behavioristik maka kita ketahui bahwa istilah-istilah seperti hubungan stimulus-respon, individu atau peserta didik pasif, perilaku sebagai hasil belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting. Teori ini hingga sekarang masih mendominasi praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti Kelompok bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah Menengah, bahkan Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara pembiasaan (drill) disertai dengan hukuman atau reinforcement masih sering dilakukan.

 

Mari kita kaji bersama bagaimanakah implikasi dari teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran? Implikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik peserta didik, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau peserta didik. Peserta didik diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pendidik atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

 

Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata telah tersetruktur rapi dan teratur, maka peserta didik atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Peserta didik atau peserta didik adalah obyek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri peserta didik.

 

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut peserta didik untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Thorndike (Schunk, 2012) kemudian merumuskan peran yang harus dilakukan guru dalam proses pembelajaran, yaitu:

1. Membentuk kebiasaan peserta didik. Jangan berharap kebiasaan itu akan terbentuk dengan sendirinya.

2. Berhati-hati jangan sampai membentuk kebiasaan yang nantinya harus diubah, karena mengubah kebiasaan yang telah terbentuk adalah hal yang sangat sulit.

3. Jangan membentuk kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu akan digunakan.

4. Bentuklah kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu akan digunakan.

 

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya, bila peserta didik menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan peserta didik secara individual.

 

Salah satu contoh pembelajaran behavioristik adalah pembelajaran terprogram (PI/Programmed Instruction), dimana pembelajaran terprogram ini merupakan pengembangan dari prinsip-prinsip pembelajaran Operant conditioning yang di bawa oleh Skinner. Schunk (2012) menyatakan bahwa pembelajaran terprogram melibatkan beberapa prinsip pembelajaran. Dalam pembelajaran terprogram, materi dibagi menjadi frame-frame secara berurutan yang setiap frame memberikan informasi dalam potongan kecil dan dilengkapi dengan test yang akan direspon oleh peserta didik.

 

Pada jaman modern ini, aplikasi teori behavioristik berkembang pada pembelajaran dengan powerpoint dan multimedia. Pembelajaran dengan powerpoint, cenderung terjadi satu arah. Materi yang disampaikan dalam bentuk powerpoint disusun secara rinci dan bagian-bagian kecil. Sementara itu pada pembelajaran dengan multimedia, peserta didik diharapkan memiliki pemahaman yang sama dengan pengembang, materi disusun dengan perencanaan yang rinci dan ketat dengan urutan yang jelas, latihan yang diberikan pun cenderung memiliki satu jawaban benar. Feedback pada pembelajaran dengan multimedia cenderung diberikan sebagai penguatan dalam setiap soal, hal ini serupa dengan program pembelajaran yang pernah dikembangkan Skinner (Collin, 2012). Skinner mengembangkan model pembelajaran yang disebut “teaching machine” yang memberikan feedback kepada peserta didik bila memberikan jawaban benar dalam setiap tahapan dari pertanyaan test, bukan sekedar feedback pada akhir test.

 

Demikian penjelasan tentang Teori Belajar Behavioristik Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran. Semoga ada manfaatnya.

No comments

Post a Comment

Kurikulum Merdeka PM

Kurikulum Merdeka PM
Info Kurikulum Merdeka dan Pembelajaran Mendalam

Search This Blog

Social Media

Facebook  Twitter  Instagram  Google News   Telegram  

Popular Posts



































Free site counter


































Free site counter